• Blog
  • Tentang Saya
  • Contact
    • Category
    • Category
    • Category
  • Shop
  • Advertise
Hak Cipta © 2025 | diarhafsari.com oleh Diar Adhihafsari. Diberdayakan oleh Blogger.
instagram spotify pinterest

diarhafsari

Membaca, menulis, dan menikmati cita rasa

[Dengarkan episode ini di Spotify dengan klik link ini]

Transkrip Podcast Sepiring Narasi Rasa S2E4: Makanan dalam Buku Esai Virginia Woolf dan Nora Ephron

Halo, asalamualaikum!

Kamu sedang mendengarkan podcast Sepiring Narasi Rasa, sebuah podcast seputar buku dan kuliner, di mana narasi tulisan bertemu dengan cita rasa makanan.

"Still Life with Books” karya Jan Lievens
Gambar: “Still Life with Books” (Bodegón con libros) karya Jan Lievens, sekitar 1630 (public domain, via Wikimedia Commons)

Podcast Sepiring Narasi Rasa diproduksi dan dipandu oleh saya, Diar, seorang penyuka buku dan juga penyuka makanan. Kalau kamu juga suka buku dan kuliner, pastikan untuk follow atau subscribe podcast ini, ya.

Langsung saja kita mulai podcast Sepiring Narasi rasa, sekarang!

Selamat datang di episode ke-4 untuk musim kedua podcast Sepiring Narasi Rasa! Di episode ini, mari kita ngobrol soal elemen makanan dalam dua buku nonfiksi, yang secara spesifik adalah buku esai, karya dua penulis wanita dari era yang berbeda sekaligus dari negara yang berbeda.

Buku esai pertama berjudul A Room of One's Own yang ditulis oleh penulis asal Inggris, Virginia Woolf. Atau yang versi terjemahan bahasa Indonesianya berjudul Ruang Bagi Perempuan.

Buku kedua, I Feel Bad About My Neck: And Other Thoughts on Being a Woman, karya Nora Ephron dari Amerika Serikat. Versi terjemahan Indonesianya sendiri berjudul Leher: Musuh #1 Wanita.

Di antara dua penulis wanita yang saya sebutkan barusan, mungkin hanya nama Virginia Woolf yang paling familiar bagi pembaca Indonesia, terutama dengan novelnya yang berjudul Mrs. Dalloway. Tapi bagi pemerhati dan penyuka film—khususnya film romcom atau romantic comedy atau komedi romantis, mungkin juga familiar dengan nama Nora Ephron.

Dua buku esai yang akan kita bicarakan ini sama sekali tidak menjadikan makanan sebagai tema utama karya mereka. Namun, dengan kecerdasan sang penulis dalam menyusun narasi, elemen makanan yang hanya muncul beberapa kali di dalam buku mereka justru tetap terasa signifikan.

Yuk, kita bahas saja satu demi satu.

Buku esai pertama: A Room of One's Own karya Virginia Woolf.

A Room of One's Own karya Virginia Woolf

Buku terbitan tahun 1929 ini berisi esai Virginia Woolf yang dikembangkan dari dua ceramah yang disampaikannya pada 1928 di Newnham College dan Girton College, keduanya college khusus wanita di Cambridge, Inggris.

Virginia Woolf yang lahir tahun 1882 ini dianggap sebagai salah seorang tokoh sastra modern berpengaruh di abad ke-20 dan juga dianggap sebagai seorang tokoh feminis. Esainya, A Room of One's Own, termasuk salah satu contoh yang sering dikategorikan sebagai karya tulis feminis.

Esai tersebut menyodorkan topik utama tentang perlunya penulis wanita, menurut Virginia Woolf, untuk menjadi independen secara finansial dan untuk memiliki ruang sendiri ("a room of one's own") dalam berkarya. Istilah "a room of one's own" ini banyak ditafsirkan sebagai sebuah metafora dari kebebasan intelektual, meski di dalam esai itu pun Woolf juga memaparkan "a room of one's own" secara literal, karena di masa Woolf hidup wanita hanya boleh menulis di ruangan terbuka di dalam rumahnya dan bahkan orang lain bebas melihat apa yang sedang ditulisnya.

Elemen makanan, meski tak banyak, turut dimunculkan di dalam esai A Room of One's Own, dan dalam narasi yang meninggalkan kesan pula.

Contohnya saat Woolf ingin menunjukkan fenomena keengganan sebagian novelis di masa itu dalam menggambarkan kehadiran nama-nama makanan di dalam karya sastra:

"It is a curious fact that novelists have a way of making us believe that luncheon parties are invariably memorable for something very witty that was said, or for something very wise that was done. But they seldom spare a word for what was eaten. It is part of the novelist’s convention not to mention soup and salmon and ducklings, as if soup and salmon and ducklings were of no importance whatsoever . . ."

Contoh lain yang paling menonjol adalah saat Woolf memasukkan unsur makanan untuk menunjukkan perbedaan makanan yang dihidangkan antara di college khusus pria dan di college khusus wanita di Cambridge dan Oxford pada masa itu. Ia menuliskan satu contoh jamuan makan siang di sebuah college khusus pria yang mana saat itu dirinya tidak diundang, melainkan diminta untuk tidak menginjak rumput di sana:

". . . the lunch on this occasion began with soles, sunk in a deep dish, over which the college cook had spread a counterpane of the whitest cream, save that it was branded here and there with brown spots like the spots on the flanks of a doe."

Menu dilanjutkan dengan hidangan, yang dalam kata-kata Woolf:

"The partridges, many and various, came with all their retinue of sauces and salads, the sharp and the sweet, each in its order; their potatoes, thin as coins but not so hard; their sprouts, foliated as rosebuds but more succulent."

Makan siang di sana diakhiri dengan makanan penutup atau dessert berupa, Woolf bilang, “. . . a confection which rose all sugar from the waves. To call it pudding and relate it to rice and tapioca would be an insult. Meanwhile, the wineglasses had flushed yellow and flushed crimson; had been emptied; had been filled...how good life seemed, how sweet its rewards . . ."

Sementara di satu jamuan makan malam di sebuah college khusus wanita, para mahasiswi dihidangkan makanan pembuka berupa sup yang saking beningnya hingga bahkan bagian dasar mangkuknya terlihat jelas, Woolf menyebutnya sebagai “a transparent liquid”.

Katanya, "It was a plain gravy soup. There was nothing to stir the fancy in that."

Hidangan utamanya berupa daging sapi yang dalam deskripsinya, "Next came beef with its attendant greens and potatoes—a homely trinity, suggesting the rumps of cattle in a muddy market, and sprouts curled and yellowed at the edge...."

Hidangan penutupnya? Prune atau buah plum kering dengan custard, yang disusul dengan biskuit kering, keju, dan air putih. Dalam kata-kata Woolf:

"And if anyone complains that prunes, even when mitigated by custard, are an uncharitable vegetable (fruit they are not), stringy as a miser's heart and exuding a fluid such as might run in misers' veins who have denied themselves wine and warmth for eighty years and yet not given to the poor, he should reflect that there are people whose charity embraces even the prune. Biscuits and cheese came next, and here the water-jug was liberally passed round, for it is the nature of biscuits to be dry, and these were biscuits to the core. That was all."

Setelah melihat kenyataan itu, akhirnya muncullah kutipan berikut yang mana kalimat terakhirnya menjadi salah satu kutipan Virginia Woolf yang paling terkenal:

“The human frame being what it is, heart, body, and brain all mixed together… a good dinner is of great importance. One cannot think well, love well, sleep well, if one has not dined well."

Dan muncul pula pertanyaan-pertanyaan terkait, dalam tanda kutip, 'diskriminasi' tersebut melalui kutipan lain berikut:

“Why did men drink wine and women water? Why was one sex so prosperous and the other so poor? What effect has poverty on fiction? What conditions are necessary for the creation of works of art?—a thousand questions at once suggested themselves."

Woolf, melalui narasinya tentang makanan di dalam esainya, mampu menunjukkan pentingnya makanan untuk mendukung berkarya, meski makanan sendiri di masa itu termasuk topik yang, dalam tanda kutip, 'remeh'.

Beralih ke buku esai yang kedua: I Feel Bad About My Neck: And Other Thoughts on Being a Woman yang ditulis oleh Nora Ephron dan diterbitkan pada tahun 2006.

I Feel Bad About My Neck karya Nora Ephron

Di masa hidupnya, Nora Ephron dikenal sebagai jurnalis, penulis buku serta, penulis naskah dan sutradara sejumlah film di Amerika Serikat. Penyuka film komedi romantis mungkin tahu dan masih ingat karya-karyanya; contohnya yang paling terkenal adalah When Harry Met Sally, Sleepless in Seattle, You've Got Mail, dan Julie & Julia.

Buku I Feel Bad About My Neck merupakan kumpulan esai Nora Ephron yang sebagian besarnya memiliki benang merah dengan tema "aging" atau pertambahan usia, khususnya bagi wanita, selain juga berbicara tentang persahabatan, tentang pernikahan, tentang perceraian, tentang karir, dan tentang menjadi orang tua dari anak yang sudah dewasa.

Seperti film-film yang ditulis dan/atau disutradari olehnya, juga seperti buku-bukunya yang lain, buku ini tentunya berisi narasi cerdas yang diwarnai oleh humor yang menyenangkan. Sebagian orang, termasuk saya bahkan, bila dibaca dalam berbagai ulasan buku di internet, diam-diam berharap bisa menulis secerdas dan selucu seorang Nora Ephron.

Serupa dengan buku A Room of One's Own, buku I Feel Bad About My Neck ini juga berisi beberapa elemen makanan yang, walau tidak banyak, dituliskan dalam narasi yang berkesan bagi pembaca.

Contohnya dalam kutipan berikut, di mana Nora bicara tentang karbohidrat sebagai bagian dari hidup:

"Here are some questions I am constantly noodling over: Do you splurge or do you hoard? Do you live every day as if it's your last, or do you save your money on the chance you'll live twenty more years? Is life too short, or is it going to be too long? Do you work as hard as you can, or do you slow down to smell the roses? And where do carbohydrates fit into all this? Are we really all going to spend our last years avoiding bread, especially now that bread in America is so unbelievable delicious? And what about chocolate?"

Di salah satu esainya, Nora juga menceritakan pengalamannya mencari pengganti makanan kesukaannya yang, dalam tanda kutip, 'hilang' karena tak lagi diproduksi oleh sebuah toko pastry Hungaria di New York, yaitu cabbage strudel (strudel kubis). Dirinya bahkan tidak berhasil mengkreasikan ulang makanan tersebut di dapurnya sendiri. Suatu pengalaman yang sederhana, namun dibuat menyenangkan dalam narasi Nora Ephron.

Sedikit kutipan dari pengalaman tersebut:

"The truth is, most of the genuinely tragic episodes of lost food are things that are somewhat outside the reach of the home cook, even a home cook like me who has been known to overreach from time to time."

Persoalan kehilangan makanan dan/atau tempat makan favorit juga disinggungnya sedikit di kutipan lain:

"Things change in New York; things change all the time. You don't mind this when you live here; when you live here, it's part of the caffeinated romance to this city that never sleeps. But when you move away, your experience change as a betrayal. You walk up Third Avenue planning to buy a brownie at a bakery you've always been loyal to, and the bakery's gone. Your dry cleaner move to Florida; your dentist retires; the lady who made the pies on West Fourth Street vanishes; the maitre d' at P.J. Clarke's quits, and you realize you're going to have to start from scratch tipping your way into the heart of the cold, chic young woman now at the down."

Nora Ephron beberapa kali menyebut-nyebut tentang kegemarannya memasak, termasuk dengan berbekal resep dari buku masak pemberian ibunya saat dirinya berusia 16 tahun, seperti dalam kutipan berikut:

“I especially like making her roast beef dinner, which is very much like my mother’s except for the yorkshire pudding. My mother didn’t serve yorkshire pudding, although there is recipe for it in The Gourmet Cookbook. My mother served potato pancakes instead. I serve yorkshire pudding and potato pancakes. Why not? You only live once.”

Atau dalam kutipan lain lagi:

"If I was home alone at night, I cooked myself an entire meal from one of these cookbooks. Then I sat down in front of the television set and ate it. I felt very brave and plucky as I ate my perfect dinner. Okay, I didn’t have a date, but at least I wasn’t one of those lonely women who sat home with a pathetic container of yogurt. Eating an entire meal for four that I had cooked for myself was probably equally pathetic, but that never crossed my mind."

Dan kutipan terakhir ini bisa menyimpulkan pentingnya makanan dalam hidup seorang Nora Ephron, yang sekaligus juga disarankannya bagi pembaca buku ini:

"The point (I was starting to realize) was about putting it together. The point was making people feel at home, about finding your own style, whatever it was, and committing to it. The point was about giving up neurosis where food was concerned. The point was about finding a way that food fit into your life."

Sekali lagi, di tangan penulis yang tepat, tema makanan, meski bukan tema utama dalam sebuah karya, ternyata mampu menggugah pembaca dalam berbagai cara.

Seperti Virginia Woolf yang menyisipkan unsur makanan ke dalam esainya secara, dalam tanda kutip, 'politis'.

Atau seperti Nora Ephron yang mampu menghidangkan elemen makanan ke dalam buku kumpulan esainya dengan memberikan perasaan yang "relatable" dan juga membangkitkan nostalgia.

Terima kasih sudah mendengarkan dan menyimak podcast Sepiring Narasi Rasa episode ke-4 ini. Semoga sedikit-banyaknya memberi manfaat, ya.

Makanan dalam Buku Esai Virginia Woolf dan Nora Ephron (Transkrip Podcast Sepiring Narasi Rasa S2E4)Judul-judul buku yang disebutkan di dalam episode ini bisa dipinjam di perpustakaan digital, salah satunya Internet Archive di www.archive.org. Atau bila kamu ingin punya buku fisiknya, kamu bisa beli di toko buku online yang link-nya sudah disematkan di dalam transkrip podcast ini.

Sebagai disclaimer, link buku-buku tersebut merupakan link afiliasi, yang artinya jika kamu membeli buku atau barang lain melalui link itu, maka saya akan menerima sedikit komisi.

Bila kamu menyukai episode atau podcast ini, saya akan senang sekali kalau kamu bersedia follow atau subscribe podcast Sepiring Narasi Rasa dan memberikan review bintang positif. Silakan juga share atau bagikan di media sosial kamu, ya.

Untuk tetap terkoneksi dan untuk mendapatkan update episode terbaru dari podcast ini, kamu bisa kunjungi dan/atau follow Instagram saya, @diarhafsari.

Sekali lagi terima kasih, sampai jumpa di episode berikutnya, dan tetap terus membaca sambil menikmati makanan kesukaanmu. Wasalamualaikum!

[Dengarkan episode ini di Spotify dengan klik link ini]

Link untuk membeli buku yang disebutkan di dalam episode ini:

  • A Room of One's Own (Virginia Woolf) (versi bahasa Inggris)
  • Ruang Bagi Perempuan / A Room of One's Own (Virginia Woolf) (versi bahasa Indonesia)
  • I Feel Bad About My Neck (Nora Ephron) (versi bahasa Inggris)

Share
Tweet
Pin
Share
No comments

[Dengarkan episode ini di Spotify]

Transkrip Podcast Sepiring Narasi Rasa S2E3: Tokoh Detektif Hercule Poirot dan Romantismenya dengan Makanan

Halo, asalamualaikum! Kamu sedang mendengarkan podcast Sepiring Narasi Rasa, di mana narasi tulisan bertemu dengan cita rasa makanan.

Tokoh Detektif Hercule Poirot dan Romantismenya dengan Makanan (Transkrip Podcast Sepiring Narasi Rasa S2E3)
Gambar: “Dessert No. IV” karya Carducius Plantagenet Ream, 1871, Boston Public Library

Sepiring Narasi Rasa adalah podcast seputar buku dan kuliner yang diproduksi dan dipandu oleh saya, Diar, seorang penyuka buku dan penyuka makanan, yang sekaligus juga suka membaca buku sambil makan, ataupun makan sambil membaca buku.

Kamu bisa menemui saya via Instagram di @diarhafsari untuk mendapatkan update seputar podcast Sepiring Narasi Rasa. Kalau kamu juga suka buku dan kuliner, pastikan untuk follow atau subscribe podcast ini serta berikan review bintang positif, bila kamu berkenan, ya. Terima kasih!

Selamat datang di episode ke-3 untuk musim kedua podcast Sepiring Narasi Rasa!

Sebelumnya mohon maaf ya, atas jeda yang lumayan jauh antara episode ke-2 dan ke-3. Biasa lah, "ibu-ibu lyfe".

Di episode ke-3 ini, yuk, kita ngobrol seputar tokoh detektif Belgia terkenal yang diciptakan oleh "Queen of Crime", Agatha Christie.

Siapa lagi detektif yang dimaksud kalau bukan Detektif Hercule Poirot. Karena ini adalah podcast buku dan juga kuliner, tentu saja kita akan bahas hubungan atau romantisme antara tokoh detektif tersebut dengan makanan dan minuman.

Kalau pun ada yang belum pernah membaca novel-novel Agatha Christie yang bergenre "mystery and crime", mungkin saja kamu sudah tahu tentang Hercule Poirot atau sudah pernah mendengar tentang sosok detektif yang ciri-ciri fisik dan kepribadiannya sangat khas itu, hingga membuatnya bisa dibilang "stand out" bersama sedikit tokoh detektif fiksi terkenal lainnya.

Hercule Poirot muncul dalam 33 novel dan lebih dari 50 cerita pendek yang ditulis oleh Agatha Christie antara tahun 1920 hingga 1975. Tentunya termasuk juga kemunculan awalnya di novel perdana Christie berjudul The Mysterious Affair at Styles (atau judul Indonesianya, Misteri di Styles).

Detektif yang terkenal dengan deskripsi bentuk kepala yang seperti telur ini dimunculkan pula dalam berbagai versi serial televisi dan film adaptasi.

Bagi saya pribadi maupun bagi banyak penikmat karya-karya Agatha Christie, bila dibaca dalam berbagai forum di internet, penggambaran Hercule Poirot yang sesuai deskripsi dalam kisah-kisahnya paling pas direpresentasikan oleh aktor Inggris, David Suchet. Hal ini bisa dibuktikan dari penampilan dan akting aktor tersebut dalam serial televisi adaptasi berjudul Poirot yang tayang sejak tahun 1989 sampai 2013.

Tokoh Detektif Hercule Poirot dan Romantismenya dengan Makanan (Transkrip Podcast Sepiring Narasi Rasa S2E3)
Gambar: David Suchet as Hercule Poirot, fan art oleh DragonianFantasy di DeviantArt (Creative Commons)

Selalu dideskripsikan dalam cerita-cerita Agatha Christie, bahwa Hercule Poirot adalah pribadi dengan perut yang sensitif, dengan orientasi pada detail, dan dengan kecenderungan pada keteraturan yang tinggi. Tak heran apabila dirinya cenderung cerewet dan perfeksionis dalam hal makanan. Dan karenanya ia juga cenderung spesifik untuk urusan tersebut, misalnya roti panggangnya harus dipotong kecil-kecil berbentuk bujur sangkar yang simetris.

Seperti yang — dalam tanda kutip, nih — "disampaikan" oleh Hercule Poirot dalam "suratnya" kepada para penerbit Agatha Christie di Amerika Serikat pada tahun 1936. Dia bilang:

“Order and method are my gods. For my breakfast, I have only toast which is cut into neat little squares. The eggs — there must be two — they must be identical in size . . ."

Kebiasaan dan preferensi makan dari Detektif Poirot sempat dirangkum oleh para penggemarnya, seperti yang bisa dibaca secara lengkap di situs agathachristie.fandom.com.

Contohnya, bagaimana Poirot lebih memilih sarapan kontinental alias khas Eropa Barat (kecuali kepulauan Britania) di dalam novel Peril at End House (atau yang versi Indonesianya berjudul Hotel Majestic), maupun dalam novel Cards on the Table (Kartu-Kartu di Meja).

Contoh lain, bagaimana Poirot menyukai omelet sederhana namun yang disiapkan secara baik, seperti dalam novel Third Girl (Gadis Ketiga) ataupun dalam novel Death in the Clouds (Maut di Udara).

Atau bagaimana Poirot lebih memilih cream cake dibandingkan sandwich atau roti lapis sebagai pendamping minum teh, contohnya dalam novel Dead Man's Folly (Kubur Berkubah).

Meski cerewet dalam hal pilihan makanan dan dalam cara makan, selera makan Poirot justru terbilang standar saja.

Dirinya digambarkan lebih menyukai makanan khas Eropa dibandingkan makanan eksotis dari benua lain. Karena berdarah Belgia yang memiliki kedekatan budaya dengan Perancis, Poirot menyukai makanan seperti croissant, omelet, dan keju lunak. Namun ia cenderung tidak terlalu menyukai makanan Inggris.

Menurut Usiekniewicz, seorang doktor dalam bidang sastra dan budaya Amerika dari Universitas Warsaw, makanan dalam cerita fiksi detektif klasik menunjukkan status sosial tokoh detektif tersebut, sekaligus juga menggambarkan khazanah budaya dari sang detektif.

Hal ini sejalan dengan pendapat Ferdinand Mount, penulis buku Full Circle: How the Classical World Came Back to Us, yang mengatakan bahwa betapa sering tokoh detektif dalam karya sastra digambarkan kecerdasan dan ketajamannya, salah satunya, melalui pengetahuannya seputar makanan dan minuman.

Tokoh Detektif Hercule Poirot dan Romantismenya dengan Makanan (Transkrip Podcast Sepiring Narasi Rasa S2E3)

Berikut ini beberapa contoh kutipan yang menunjukkan jalinan hubungan antara detektif tersebut dengan kuliner.

Pertama, dari novel Dumb Witness (Saksi Bisu):

"Poirot always drank chocolate for breakfast — a revolting habit."

Ada juga kutipan dari novel The Murder of Roger Ackroyd (Pembunuhan Atas Roger Ackroyd) yang dinarasikan oleh tokoh Dr. Sheppard:

"He himself was engaged in brewing hot chocolate. It was a favorite beverage of his, I discovered later."

Selanjutnya, kutipan dari novel Mrs. McGinty's Dead (Mrs. McGinty Sudah Mati):

"Not for him, either, the mid-morning coffee. No, chocolate and croissants for breakfast, Déjeuner at twelve-thirty if possible but certainly not later than one o’clock, and finally the climax: Le Diner!

These were the peak periods of Hercule Poirot’s day. Always a man who had taken his stomach seriously, he was reaping his reward in old age. Eating was now not only a physical pleasure, it was also an intellectual research.

For in between meals he spent quite a lot of time searching out and marking down possible sources of new and delicious food. La Vieille Grand’mere was the result of one of these quests and La Vieille Grand’mére had just received the seal of Hercule Poirot’s gastronomic approval."

Terakhir, kutipan dari novel Hercule Poirot's Christmas (Pembunuhan di Malam Natal):

“It means, in fact, the overeating! And with the overeating there comes the indigestion! Which leads to ‘irritability’ and therefore crime.”

Menarik ya, bagaimana ternyata elemen makanan, meski umumnya menjadi bagian dari plot cerita, turut berpengaruh bagi pembaca untuk mengetahui cara pandang dan cara kerja seorang tokoh detektif.

Terima kasih sudah mendengarkan dan menyimak podcast Sepiring Narasi Rasa episode ke-3 ini. Semoga bermanfaat, ya.

Sebagian judul novel karya Agatha Christie yang disebutkan di dalam episode ini bisa dipinjam di perpustakaan digital. Atau bila kamu ingin punya buku fisiknya, kamu bisa beli di toko buku online yang link-nya bisa kamu dapatkan di link yang ada di bio Instagram saya di @diarhafsari.

Sebagai catatan, link tersebut adalah link afiliasi, ya. Artinya, jika kamu membeli buku atau barang lain melalui link itu maka saya akan menerima sedikit komisi.

Bila kamu menyukai episode atau podcast ini, saya akan senang sekali kalau kamu bersedia follow atau subscribe podcast ini dan memberikan review bintang positif. Dan silakan juga share di media sosial kamu, ya.

Untuk tetap terkoneksi, kamu bisa kunjungi dan/atau follow Instagram saya, @diarhafsari.

Sekali lagi terima kasih, sampai jumpa di episode berikutnya, dan tetaplah membaca! Wasalamualaikum!

Link untuk membeli (sebagian) buku Agatha Christie yang disebutkan dalam episode ini (link afiliasi):

  • The Mysterious Affair at Styles (Misteri di Styles)
  • Peril at End House (Hotel Majestic)
  • Cards on the Table (Kartu-Kartu di Meja)
  • Death in the Clouds (Maut di Udara)
  • Dead Man's Folly (Kubur Berkubah)
  • Dumb Witness (Saksi Bisu)
  • The Murder of Roger Ackroyd (Pembunuhan Atas Roger Ackroyd)
  • Mrs. McGinty's Dead (Mrs. McGinty Sudah Mati)
  • Hercule Poirot's Christmas (Pembunuhan di Malam Natal)

Referensi:

  • "Joyeux Noël! Hercule’s Hot Chocolate (Agatha Christie’s Poirot)"
  • "Mystery Solved: Why Literature’s Greatest Detectives Are All Obsessed With Food" (Mackensie Griffin, situs Eater, 31 Agustus 2017)
  • "Poirot and his food"
  • "Poirot's Breakfast: Toast with Homemade Strawberry Jam and Mustachioed Hard Boiled Eggs" (1 Oktober 2015)

[Dengarkan episode ini di Spotify]

Share
Tweet
Pin
Share
No comments

[Dengarkan episode ini di Spotify]

Transkrip Podcast Sepiring Narasi Rasa S2E2: Mengenal Sosok Kuliner Julia Child Lewat Buku Anak

Halo, asalamualaikum! Kamu sedang mendengarkan podcast Sepiring Narasi Rasa, di mana narasi tulisan bertemu dengan cita rasa makanan.

Mengenal Sosok Kuliner Julia Child Lewat Buku Anak (Transkrip Podcast Sepiring Narasi Rasa S2E2)
Gambar: Still Life with Fish, Vegetables, Gougères, Pots, and Cruets on a Table oleh Jean-Siméon (1699-1779) (public domain, Getty Museum, via rawpixel)

Sepiring Narasi Rasa adalah podcast seputar buku dan kuliner yang dipersembahkan oleh Sepiring Kue, sebuah toko kue gluten-free online di Instagram @sepiringkue, yang sayangnya saat ini masih vakum dari bebikinan kue.

Podcast ini diproduksi dan dipandu oleh saya sendiri, Diar, dari Sepiring Kue.

Transkrip episode ini akan tersedia segera di blog saya di BloggerPerempuan.com. Karenanya, pastikan kamu mem-follow Instagram @diarhafsari untuk update-nya.

Sekarang, yuk, kita mulai Sepiring Narasi Rasa!

Selamat datang di episode ke-2 di musim ke-2 podcast Sepiring Narasi Rasa!

Di episode ke-2 ini, saya ingin mengajak kamu semua ngobrol-ngobrol seputar sosok kuliner terkenal asal Amerika Serikat, Julia Child.

Mungkin di antara kamu ada yang mengenal sosok tersebut lewat film tahun 2009 berjudul Julie & Julia yang dibintangi oleh Meryl Streep dan Amy Adams? Ngomong-ngomong, filmnya juga ada di Netflix, lho.

Atau mungkin kamu tahu tentang Julia Child dari Julie & Julia versi buku memoar karya mendiang Julie Powell, yang menjadi salah satu inspirasi film yang saya sebutkan barusan?

Atau bisa jadi kamu kenal tokoh kuliner itu dari kutipan-kutipan atau quotes-nya yang terkenal, terutama kutipan:

"People who love to eat are always the best people."

Julia Child, yang adalah seorang chef, penulis buku masak, dan pembawa acara masak di TV, awalnya terkenal berkat buku masak tebal berjudul Mastering the Art of French Cooking yang ia tulis bersama Simone Beck (atau biasa dipanggil Simca) dan Louisette Bertholle, yang terbit tahun 1961.

Buku tersebut, sekaligus sosok Julia Child sendiri, sejak saat itu merevolusi dunia kuliner Amerika Serikat, dan kemudian bahkan dunia. Ia meyakini bahwa setiap orang bisa memasak, selama memggunakan instruksi atau panduan yang tepat.

Kini, hampir 20 tahun sejak dirinya wafat, Julia Child masih terus dikenang melalui berbagai media. Berbagai referensi tentang dirinya bertebaran di internet. Nah, tapi, di episode ini saya mau mengajak kamu mengenal sosok seorang Julia Child melalui media buku anak, khususnya dari dua judul berikut:

  • Bon Appétit! karya Jessie Hartland
  • Julia, Child karya Kyo Maclear

Buku pertama, Bon Appétit!: The Delicious Life of Julia Child, ditulis dan diilustrasikan oleh Jessie Hartland. Buku ini terdiri dari 56 halaman dan terbit tahun 2012.

Bon Appétit! karya Jessie Hartland

Baru melihat sampul depan atau cover-nya yang berwarna biru cerah saja, kita bisa langsung terpikat dengan buku ini. Di bagian tengah cover ada ilustrasi setengah badan Julia Child yang memegang buku karya pertamanya di tangan kanan dan sebuah pisau di tangan kiri.

Ilustrasi cover-nya yang cerah-ceria juga diimbangi dengan tipografi judul yang sama-sama memancarkan keceriaan khas buku anak.

Bagian isi buku Bon Appétit! ini dipenuhi panel-panel dengan gambar dan ilustrasi yang terlihat seperti kartun yang manis, playful, ceria, pokoknya menyenangkan.

Semua gambar dan ilustrasi itu dilengkapi dengan teks-teks singkat dan ringan berupa ringkasan biografi Julia Child.

Dimulai dari masa kecilnya di Pasadena, California, yang tertulis di dalam buku ini:

"She is a true tomboy."

Termasuk makanan favoritnya kala itu, yang ditulis begini:

"What is her favorite after-school snack? A jelly doughnut!"

Dijabarkan pula kehidupan karirnya sejak muda, pernikahannya dengan Paul Child, dan kepindahannya ke Paris, Perancis, di tahun 1940-an untuk mengikuti kepindahan tugas suaminya yang seorang diplomat.

Salah satu gambaran kehidupan Julia Child saat tinggal di Paris ditulis sebagai berikut:

"Julia worked as a file clerk. In the evenings Julia tried to cook. Not bad..."

Tentu saja diceritakan pula kisah pembuatan dan publikasi bukunya, Mastering the Art of French Cooking, sampai ke momen-momen lucu dirinya ketika membawakan acara masaknya di televisi. Tak ketinggalan ciri khas Julia Child menutup acaranya dengan ucapan, "Bon appétit!" dengan suara khasnya yang tinggi.

Berikut ini testimoni dari tokoh kuliner Amerika Serikat, Ina Garten, tentang buku Bon Appétit!:

"For children, this is a thrilling introduction to Julia Child, French cooking, and life in Paris; it charmingly captures the exuberance of a woman who lived her passion. I love this book!"

Penulis Bon Appétit, Jessie Hartland, sengaja mengunjungi Paris dan pedesaaan Perancis demi risetnya untuk menulis buku ini. Ia adalah seorang seniman, penulis, dan ilustrator buku anak yang berbasis di kota New York, yang karya-karya lainnya juga dibuat dalam bentuk keramik, kain, dan iklan komersial.

Kamu bisa mengenal Jessie Hartland lebih jauh dengan mengunjungi situsnya di www.jessiehartland.com dan akun Instagram-nya, @jessiehartland.

Buku anak berikutnya untuk kita mengenal sosok kuliner Julia Child adalah buku karya penulis Kanada, Kyo Maclear, yang berjudul Julia, Child. Ada koma di antara kata Julia dan Child, ya.

Julia, Child karya Kyo Maclear

Buku yang terbit tahun 2014 ini memiliki 40 halaman dan ilustrasi yang dibuat oleh Julie Morstad.

Seperti buku Bon Appétit! yang sampul depannya biru cerah dengan ilustrasi yang khas anak-anak, begitu pun dengan buku Julia, Child dengan cover atau sampul depannya yang berwarna biru lembut, dilengkapi ilustrasi manis berupa Julia kecil dengan rambut pendek coklat ikalnya, ditambah sejumlah ilustrasi ukuran kecil berupa kupu-kupu, sendok kayu, krayon, stroberi, bunga, dan lain-lain. Tipografi judulnya pun tentu saja sama manisnya.

Namun ada yang berbeda nih, antara buku Bon Appétit! dengan buku Julia, Child dari segi isi. Kalau Bon Appétit! adalah buku biografi bergambar yang berarti masuk ke dalam kategori buku nonfiksi, buku Julia, Child justru merupakan kisah fiksi dari Julia Child kecil.

Seperti yang bisa dikutip dari penjelasan penulisnya di situsnya, kyomaclearkids.com:

"What I've tried to do here is forget the facts and capture something about Julia Child's spirit. And by spirit, I mean her gusto, joyful abundance and joie de vivre. Julia's message — that to be a happy eater is to be a happy human — seems both a timely and timeless one to me."

Buku Julia, Child bercerita tentang Julia dan sahabatnya, Simca, yang senang memasak dan melakukan eksperimen di dapur. Kalau kamu ingat, sebelumnya saya ada menyebutkan bahwa Simca adalah nama panggilan untuk Simone Beck, teman baik Julia Child di dunia nyata yang membantunya menulis buku Mastering the Art of French Cooking.

Buat yang pernah menonton film Julie & Julia, mungkin ingat dengan adegan awal, di mana pertama kali tiba di Paris, Julia Child menikmati sebuah hidangan ikan bernama sole meunière, begitu pun dengan halaman awal buku Julia, Child. Tentunya dengan ilustrasi manis sekaligus indah yang menggambarkan Julia kecil duduk di dapur, dilengkapi teks ringan dan singkat namun seindah ilustrasinya:

"When Julia was very little, she had a splendid meal of sole meunière. And that was that. Julia fell in love with French food."

Julia kecil dan Simca selalu berlatih memasak, hingga bahkan mereka juga mengikuti kelas memasak dan membuat kue. Tentu saja hasil belajar dan praktik mereka tak selalu mulus. Seperti yang ditulis dalam salah satu halaman:

"Back home in the kitchen, things didn't always turn out quite the way they expected... or hoped."

Kemudian, tiba suatu waktu di mana Julia dan Simca memperhatikan bagaimana kehidupan orang dewasa terlihat penuh dengan kekhawatiran dan keterburu-buruan. Sebuah ide pun muncul untuk menciptakan resep-resep makanan untuk meembuat orang dewasa tetap muda dan selalu berjiwa anak-anak.

"And what a table it was. Fluffy clouds of cheese soufflé. Perfect loaves of crusty baguette. A golden compote of freah peaches, sweet as summer sunlight..."

Deskripsi indah tersebut tentunya dilengkapi dengan ilustrasi luar biasa berupa penggambaran kenikmatan makanan yang terhidang melalui uap pelangi dan kupu-kupu yang berterbangan.

Dengan cerita dan ilustrasinya yang sangat bagus, tidak heran bila buku Julia, Child ini mendapatkan berbagai penghargaan, baik sebagai nomine maupun pemenang.

Selain menulis buku anak, Kyo Maclear menulis novel untuk pembaca dewasa dan juga menulis esai untuk berbagai publikasi.

Kamu bisa kunjungi situs www.kyomaclearkids.com dan www.kyomaclear.com untuk mengetahui lebih lanjut.

Sementara untuk sang ilustrator, Julie Morstad, bisa dikunjungi website-nya di www.juliemorstad.com.

Sayang sekali, dua buku yang baru saya bahas ini, sejauh penelusuran saya, tidak ada versi bahasa Indonesianya.

Mengenal Sosok Kuliner Julia Child Lewat Buku Anak (Transkrip Podcast Sepiring Narasi Rasa S2E2)

Semoga gambaran singkat dua buku anak tersebut, Bon Appétit! karya Jessie Hartland dan Julia, Child oleh Kyo Maclear dan Julie Morstad, bisa membuat kamu sedikit banyak mengenal dan mungkin terinspirasi oleh sosok kuliner Julia Child, ya.

Terima kasih sudah mendengarkan dan menyimak podcast Sepiring Narasi Rasa episode ke-2 ini.

Bila kamu menyukai episode ini atau podcast ini, saya akan senang sekali kalau kamu bersedia subscribe podcast ini dan memberikan bintang. Silakan juga share di media sosial kamu, ya.

Untuk tetap terkoneksi, kamu bisa kunjungi dan/atau follow Instagram saya, @diarhafsari.

Sekali lagi terima kasih, sampai jumpa di episode berikutnya, dan wasalamualaikum!

[Dengarkan episode ini di Spotify]

Share
Tweet
Pin
Share
No comments

[Dengarkan episode ini di Spotify]

Transkrip Podcast Sepiring Narasi S2E1: Budaya Ngopi Cantik ala Fika di Swedia

Halo, asalamualaikum!

KAMU SEDANG MENDENGARKAN podcast Sepiring Narasi Rasa, di mana narasi tulisan bertemu dengan cita rasa makanan.

Sepiring Narasi Rasa adalah podcast seputar buku dan kuliner yang dipersembahkan oleh Sepiring Kue, sebuah toko kue gluten-free online di Instagram @sepiringkue, yang saat ini masih vakum dari bebikinan kue.

Podcast ini diproduksi dan dipandu oleh saya, Diar, dari Sepiring Kue.

Budaya Ngopi Cantik ala Fika di Swedia (Transkrip Podcast Sepiring Narasi Rasa S2E1)
Gambar: “An Afternoon Coffee” (Un café l'après-midi) oleh Henri Adrien Tanoux, 1888 (public domain, via Wikimedia Commons)

Yuk, kita mulai Sepiring Narasi Rasa, sekarang!

Selamat datang semua di musim atau season ke-2 dari podcast Sepiring Narasi Rasa! Buat para follower atau subscriber, terima kasih atas kesetiaan kamu mendengarkan podcast ini. Dan bagi pendengar baru, terima kasih juga sudah bersedia mencoba mendengarkan Sepiring Narasi Rasa. Silakan duduk santai sambil ditemani sepiring kue dan secangkir minuman kesukaanmu, ya.

Di episode perdana di musim yang baru ini, mari kita ngobrol seputar budaya ngopi cantik yang disebut dengan fika di negara Swedia.

Fika yang akan kita bahas ini bersumber dari sebuah buku nonfiksi terbitan tahun 2015 yang masuk ke dalam kategori buku kuliner naratif sekaligus buku masak atau buku resep, yang berjudul Fika: The Art of the Swedish Coffee Break.

Budaya Ngopi Cantik ala Fika di Swedia (Transkrip Podcast Sepiring Narasi Rasa S2E1)

Buku ini ditulis oleh seorang penulis kuliner, yaitu Anna Brones. Sementara semua ilustrasi cantik yang ada di dalam buku ini dibuat oleh Johanna Kindvall. Walaupun Anna Brones dan Johanna Kindvall tinggal di Amerika Serikat, keduanya sama-sama memiliki latar belakang Swedia.

Buku Fika ini ditulis untuk merayakan fika, budaya coffee break yang dilakukan orang-orang Swedia setiap hari, baik di tempat kerja, di rumah, di kafe, di kereta api, atau bahkan sambil jalan kaki di taman.

Istilah fika bisa menjadi kata benda dan bisa juga menjadi kata kerja.

Di bab pendahuluan atau "Introduction", ada disebutkan bahwa kalau kopi Swedia saja disebutnya kaffee saja. Tapi kalau kopi Swedia plus sesuatu untuk dimakan, maka jadinya fika. Apakah sesederhana itu?

Coba yuk, kita dengarkan kutipan tentang filosofi fika yang ada di bagian pendahuluan buku ini:

"At its core, fika means 'to drink coffee'. But the meaning goes much deeper. Fika represents an entire culture; it carries as much meaning for Swedish social engagements as it does for food customs. Fika is as indicative of a love of coffee as it is of a belief in maintaining tradition."

Jadi, di Swedia, kopi dikonsumsi bukan sekadar untuk teman sarapan, bukan sekadar untuk bikin melek dan menambah tenaga, tapi ngopi merupakan suatu momen yang penting dalam hari mereka.

Namun, fika pun bukan sekadar bikin atau beli kopi plus kue, lalu sudah bisa disebut fika. Untuk benar-benar melakukan fika, itu berarti kita berkomitmen meluangkan waktu untuk mengambil jeda atau break di hari itu.

Karena, kata sang penulis, "Fika isn't just for having an afternoon pick-me-up; it's for appreciating slow living."

Fika yang sungguh-sungguh fika, bagi orang Swedia, selain menyuguhkan kopi, juga didampingi dengan kue dan/atau roti klasik yang khas atau sudah bersinonim dengan fika, misalnya cinnamon buns (roti kayu manis), kue apel atau fyriskaka, dan sandwich yang terbuka.

Meskipun untuk fika tidak harus membuat kue sendiri, Anna Brones dan Johanna Kindvall, bisa dibilang meneruskan kebiasaan ibu mereka masing-masing, yang — sesuai budaya Swedia — selalu secara rutin bebikinan sesuatu menggunakan oven.

Seperti yang bisa dikutip dari Anna Brones di dalam buku ini:

"For us, baking from scratch is simply the norm. We can't trace all of this to our roots, but there's something about baking and cooking with whole ingredients that feels inherently European: the appreciation for simple, good ingredients."

Karena itu, resep-resep di dalam buku Fika menggunakan bahan-bahan utama yang sederhana, berupa tepung terigu, gula pasir, mentega, dan telur, namun dipilih yang organik.

Dan, berhubung penganan khas Swedia dikenal memiliki sentuhan rempah, maka rempah-rempah pun menjadi penting bagi resep-resep dalam buku ini, terutama sekali kapulaga (cardamom) dan kayu manis (cinnamon).

Sementara, bila di dalam resep ada bahan-bahan tambahan lain yang khas Swedia, oleh sang penulis disertakan pula penjelasan bahan alternatif/penggantinya, bila memungkinkan.

Ada sekitar 50 resep kue kering, cake, dan roti di dalam buku ini, yang dikembangkan dari warisan keluarga Anna Brones maupun Johanna Kindvall. Ada resep yang termasuk baru, ada yang adaptasi, dan ada yang interpretasi dari resep klasik.

Beberapa contohnya, cinnamon and cardamom buns, cardamom cake, orange almond slices, oat crisp chocolate sandwich cookies, jam thumbprint cookies, dan nutmeg slices.

Secara tradisional, yang juga penting dalam fika, selain kopi dan kue-kue pendampingnya, adalah coffee set cantik yang digunakan untuk menyajikannya. Mulai dari teko kopi, cangkir, saucer (piring tatakan cangkir), sampai piring untuk menyuguhkan kue-kuenya.

Terlepas dari itu semua, yang membuat fika istimewa sebenarnya adalah:

  1. Cocok untuk segala macam momen dan segala macam musim.
  2. Makanan untuk fika bisa dipilih sesuai atmosfer yang sedang diinginkan. Bahkan penggunaan kopi bisa diganti dengan teh atau minuman buah. Bebas.
  3. Bisa untuk kapan saja, di mana saja, dan dengan siapa saja.

Kutipan lain dari bab pendahuluan untuk kita lebih memahami vibes dari fika:

"Eating is often emotional. It invokes a sentiment; we eat to celebrate, we eat to mourn. Separating food from how we feel about it is essentially impossible. Fika is the same; there's a personal and emotional connection to it, no matter which recipe you choose. A cup of coffee and a piece of chocolaty kladdkaka, for example, feels comforting. It is, in its own way, grounding. Baking it in turn is a reassuring act, making you feel safe, sound, and taken care of — a staple in which you know exactly what you're getting."

Begitulah kira-kira sedikit gambaran dari budaya ngopi cantik ala fika di Swedia yang bisa kita tengok melalui buku Fika ini.

Budaya Ngopi Cantik ala Fika di Swedia (Transkrip Podcast Sepiring Narasi Rasa S2E1)

Di negara tersebut, saat ada yang bilang, "Ska vi fika?" (Should we fika?), orang-orang Swedia tahu pasti apa yang dimaksud, yaitu, "Yuk, break dulu, habiskan waktu bareng, dan slow down."

Karena, seperti yang bisa dikutip dari halaman 51 di Bab 2, "Modern-Day Fika", kata penulisnya, "... it's important to make time to enjoy life."

Buku Fika: The Art of the Swedish Coffee Break yang berbahasa Inggris ini bisa dipinjam secara gratis di situs perpustakaan digital, Internet Archive, di www.archive.org. Tentunya dengan syarat kamu sudah terdaftar sebagai anggota perpustakaan tersebut terlebih dahulu, ya.

Bagi yang ingin tahu lebih lanjut tentang penulis buku ini, Anna Brones, bisa langsung ke website-nya, www.annabrones.com, atau ke Instagram @annabrones. Untuk ilustratornya, Johanna Kindvall, ada website-nya juga, yaitu www.johannak.com, dan Instagram-nya @johannakindvall.

Sekian dulu episode perdana di musim ke-2 podcast Sepiring Narasi Rasa. Kalau kamu menyukai episode ini atau podcast ini, silakan kasih bintang dan share juga ke media sosial kamu, ya.

Buat yang belum, silakan juga follow atau subscribe podcast Sepiring Narasi Rasa dan dengarkan episode-episode dari musim pertama.

Untuk informasi terbaru dari/dan tentang podcast ini, bisa dengan follow Instagram @diarhafsari dan @sepiringkue.

Terima kasih sudah meluangkan waktu kamu untuk mendengarkan podcast Sepiring Narasi Rasa. Sampai jumpa di episode berikutnya! Wasalamualaikum!

[Dengarkan episode ini di Spotify]

Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Older Posts

HALO!

Selamat datang di blog diarhafsari.com! Nama saya Diar dan di blog ini saya menulis seputar membaca, menulis, dan menikmati cita rasa. Selamat menikmati!

SAYA JUGA ADA DI SINI

  • instagram
  • spotify
  • pinterest

TOPIK

  • Blogging
  • Buku dan Kuliner
  • Membaca
  • Menikmati Cita Rasa
  • Menulis
  • Podcast Sepiring Narasi Rasa

Created with by ThemeXpose